Selasa, 15 Maret 2011

Nyanyian Rindu

hai2 guys,, postingan pertama nih gw nih adalah cerpennya abang Dude Harlino yang pernah dimuat di majalah STORY edisi Valentine (Edisi 18/Th.II/25 Januari 2011 – 24 Februari 2011. Gw tahu Dude nulis cerpen dari blognya Ridhaadilla. Selamat membaca :)

            Dengan muak Tia meneguk habis jus mangga dan menyelesaikan sarapannya. Ditengoknya jendela. Langit sepenuhnya warna kebiruan. Gerimis diluar membuat pepohonan dan jalanan basah kuyup. Sejak pagi cuaca begini terus, bahkan, dari kemarin.
Tia menghela nafas berat. Tak ada pilihan. Dia meraih mantelnya, lalu payung da jas hujan. Bimbang sejenak. Memakai jas hujan atau membawa payung. Akhirnya dilemparkannya jas hujan dekat sepeda. Diraihnya payng dan bergegas keluar. Segera saja dingin menyerbunya tanpa ragu-ragu. Dia mempercepat langkahnya.
Dikenangnya matahari yang benderang dan udara yang hangat Indonesia. Cuti yang kelewat sebentar. Cuma Sebulan! Sungguh apes, pikirnya. Sambil menyelinap dari satu gang ke gang lain, dia membayangkan gang-gang di Indonesia. Tak serapi disini, namun seronok.
Wajah Tino yang serba tersenyum seperti cuaca tropis membuat Tia jadi ikut tersenyum. Mengapa wajah begitu, kok tidak menyanyi rock atau pop, melainkan justru Jazz! Tapi kalau dia menyanyi rock atau pop, bagaimana mereka bisa bertemu? Jazz yang mempertemukan mereka. Dan permainan piano, dan suaranya yang hangat: rindukah kau padaku.... Ups! Tia dengan kaget menghentikan langkah. Sebuah sepeda melintas dimukanya. Dia mencoba berhati-hati sekarang. Hujan makin deras. Dingin makin mengiris. Wangi roti dan toko di simpang jalan menerpa hidungnya. Tia terkenang wangi sate di indonesia. Tajam dan menggoda, seperti mata Tino. Apa ya, nama grup jazznya? Oh iya “Cuap Jazz”. Tia tersenyum. Nama yang lucu. Benarkah setelah berpisah Tino menyanyikan semua lagu cinta Cuap Jazz?
Sebuah lagu lama, yakni Jalan Sore akan kami nyanyikan sebagai persembahan pada tamu kita malam ini, Tia. Tia, semoga anda suka lagu ini. Dan bergemalan suara emas Tino...
“Pertemuan malam ini sangat berkesan. Pertemuan kali ini tak terlupakan...” matanya yang hangat berkali-kali menyinari hati Tia. Di pertengahan pertunjukan, Tia didaulat Eno menyanyi. Sungguh Tia gugup. Tapi, akhirnya ia menyanyikan Selendang Sutra satu-satunya lagu yang syairnya dia hapal meskipun ligat Belandanya tak bisa hilang. Dan Selendang Sutra dai harapkan benar-bensr menjadi Sutra antara dia dan Tino.
Tia sudah sampai digerbang taman kanak-kanak yang dia tuju. Dia langsung menuju ruang “Play Group” dan melihat anak-anak sudah ada semua disana. Dia bergegas keruang kantor dan mengambil gitarnya.
“Anak-anak siapa yang sayang Papa....?”
Anak-anak mengacung dengan serentak.
“Siapa yang sayang Mama...?”
Mengacung lagi serentak.
“Sekarang kita menyayangi untuk Mama dan Pap. Siaaaaap! Ohhh Mijn Papa....”
Mereka bernyanyi bersama-sama. Tapi belum lagi lagu itu selesai, seorang anak sudah berteriak, “Mendongeng, Bu mendongeng....”
Sebagian anak menghentikan nyanyiannya dan ikut berteriak “Bercerita .... yang lucu Jufrow......”
“Baik kita bercerita ....”
“Horeeeeeeee!!”
Anak-anak segera berkumpul mengerumuni Tia. Ada yang menyandar dipahanya, ada yang berusaha naik ke pundaknya.
“Hey, tenang dulu. Ibu mau ceritaa. Yang tidak bisa duduk tertib tidak disayangi ibu peri. Dia disihir oleh nenek sihir menjadi kura-kura.”
Anak-anak yang mencoba naik kepundaknya ragu-ragu sejenak, tapi kemudian mencoba meneruskan usahannya. Namun, ketika Tia mulai bercerita dan anak-anak lain tidak lagi memperhatikannya melainkan memperhatikan cerita Tia, anak itu menghentikan usahanya dan diam-diam memasuki kerumunan untuk mendengarkan cerita juga.
Tia melirik jendela. Masih gerimis. Dan anak sebegitu banyaknya dan ribut. Dan Tia terkenang liburan. Tangkuban Perahu, mandi air panas. Ahh musim begini, gumma hatinya. Dan anak-anak begini banyak. Tapi akhirnya pelajaran usai. Tia menrik nafas lega, menyusuri koridor menuju kantor. Anak-anak sudah pada berlarian ketempat orang tuanya masing-masing yang segera memakaikan baju hangat pada anak mereka masing-masing.
Daniel tersenyum melihat Tia masuk.
“Sejak kapan Tchaikovsky mengubah lagu jazz?”
Tia tersipu “Sekali-kali saja, buat variasi. Lagipula sulit memainkan Not Cracker Tchaikovskydengan gitar.”
“Itu alasan kedua. Alasan pertama kamu masih ada di Indonesia.”
“masih di Indonesia?”
“Ya, hati dan pikiranmu masih disana. Hanya badanmu yang disini.”
“Daniel!” Tia mlemparkan tissue yang dipegangnya.
Daniel menghindar, “Mau kopi?” tanya Daniel. Tapi dia tidak menunggu Tia menjawab. Dai menyeduh kopi instan dari termos yang ada didekatnya dan menyerahkannya pada Tia. “Bagaimana indonesia?” tanya Daniel lagi sambil tersenyum.
“Bagaimana?” Tia tergagap. Bagaimana menceritakan Indonesia? Matahari bersinaran, Jazz, senyum Tino. Tak mungkin ini diceritakan pada Daniel. Tia tertawa. “Datanglah kesana nanti akan tahu sendiri.”
Tia bergolekan dengan lemas diranjangnya. Diluar tak ada matahari. Langit seperti hamparan alumunium dingin. Winter semacam ini kerap membuatnya depresi. Hari jadi cepat malam seperti usia. Ah usia! Tia menarik napas berat. Ia masih melajang begini. Ia menelungkupkan tubuh ke ranjang, meraih bantal. Tidak bisa dibayangkan ia akan menghabiskan waktu menjadi pengasuh Play Group hingga masa tua, berada selalu ditengah anak-anak yang ribut, yang nakal, yang cengeng, yang menuntut cerita, yang minta diantar ke toilet, yang.....
Dan usia seperti Winter, cepat sekali jadi malam.
E-mail dari Tino kemarin membuatnya terhibur. Surat yang selalu hangat dan kadang berselipkan rayuan. Menikah dengan Tino tentunya menarik. Bahkan, jika perlu dia siap tinggal di Indonesia. Indonesia identik dengan Jazz. Ternyata banyak lagi di Indonesia yang menyanyikan lagu Jazz dan Tino kekecualian. Diingatnya kembali dia membaca sajak dari Tino bermain Jazz. Mereka dipersatukan Jazz. Ia bisa berbincang berjam-jam dengan Jazz perihal jazz. Kemanapun dia pergi, Tino selalu menemani.
Tia segera bangun membuka internet mengecek harga-harga tiket untuk musim dingin yang akan datang. Dia sudah memutuskan untuk datang ke Indonesia lagi dan memastikan hubungannya dengan Tino. Tidak bisa lain, demikian pikirnya, aku harus memastikan hal ini pada Tino.
“Tapi aku tidak menyatakan diri akan menjado pacarmu” Wajah Tino agak pucat.
“Tapi lagu cinta sebagai ucapan selamat datang. Rayuan-rayuanmu lewat e-mail. Kita selalu bersama kemana-mana, dan saya yakin semua orang beranggapan kita pacaran.”
“Tia kamu tidak mengerti. Lagu cinta sebagai sambutan selamat datang itu adalah . . ., ah sudahlah. Sulit menjelaskan. Kami disini bisa menyanikan lagu semacam itu sebagai persembahan buat siapa saja.”
“Jadi aku sama sekali tidak istimewa...”
“Bukan begitu, aku Cuma ingin ramah. Ingin bersahabat. Engkau orang asing dan aku ingin memastikan engkau mendapatkan pengalaman menyenagkan disini.”
“Nah, betul bukan. Kau begitu penuh perhatian padaku. Bukan slahku menganggapmu istimewa. Kukira kau pun menganggapku istimewa. Kukira kita telah mulai menjalin...”
“Tia, bagaimana lagi aku harus menjelaskannya.”
Tia tidak menjawab. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tersedu. Tiga belas jam lebih di perjalanan. Bahkan sepertiga dari tabungan tahunannya sudah dia gunakan untuk membeli tiket kemari. Dan Tino...
Tia mengenang dengan pedih pertemuannya dengan Tino. Kedatangannya ke Indonesia sepenuhnya bencana. Ia sudah bercerita pada satu dua temannya yang benar-benar dekat bahwa dia sedang jatuh cinta. Bahkan, dia hampir yakin teman-teman dekatnya bakal mengenal Tino begitu mereka bertemu karena begitu kera dan detailnya dia bercerita tentang Tino. Dan Tino... mereka berpisah dengan buruk malam itu. Matanya sembab oleh air mata. Dan wajah Tino pucat serta kebingungan. Tino kemudian pamit dan menghilang. Tia tidak ingat apakah ia melambaikan tangan atau tidak. Ahtinya sepenuhnya hancur. Matahari bersinar terang esoknya, tapi dia merasa semua telah berubah menjadi musim dingin, seperti salju, kotor dan becek.
Dan kini ia ada di pesawat menuju Indonesia. Dia kerap heran dengan keputusannya untuk kembali ke Indonesia. Mangapa setelah menjalani hari-harisedih di Indonesia tempo hari ia justru memutuskan untuk kembali ke indonsia? Dia tidak tahu untuk apa.
Dia kembali bersuratan dengan Tino lewat e-mail. Tak ada rayuan lagi disana. Pertukaran kabar diantara mereka lebih resmi dan menjaga jarak. Mungkin dia ingin memastikan hubungannya dengan Tino. Mungkinkah? Beranikah dia mempermasalahkan itu lagi? Mungkian dia hanya ingin menjaga masih adanya hubungan. Tidak perlu asmara tapi paling tidak masih bisa bersama main Jazz, berjalan-jalan, mengobrol. Paling tidak dia memiliki tambatan entah apa. Agar bisa tahan menjalani hari-hari penuh anak-anak yang ribut, yang minta didongengi, yang berebut naik kepunggungnya, yang minta diantar ke toilet, yang tidak satupun diantara mereka adalah anaknya.
Di pandangnya layar TV dipesawat. Sejam lagi mereka akan mendarat diJakarta. Selam di pesawat bisa dikatakan dia tidak bisa tidur. Ia selalu gelisah. Hatinya hangat dan hampa hampa karena sekarang dia bisa melihat ketidakmasukakalan kepergiannya ke Indonesia hangat karena wajah Daniel berkali-kali melintas dalam angannya.
Daniel telah pindah dari pekerjaannya sebagai pengasuh Play Group dan kini bekerja di perusahaan konstruksi serta pindah ke Amsterdam. Mereka bertemu dirumah Jolanda, tean sesama pengasuh Play Group, ketiak Jolanda merayakan ulang tahun. Tia merasa aneh selama ini dia tidak memperhatikan Daniel. Apakah karena Daniel sesama pengasuh anak dan sama-sama tidak memiliki anak-anak itu? Atau karena mereka sama-sama tinggal di kota kecil Zotemeer yang membuat semua hal sperti membeku dan kelhilangan daya tarik. Entahlah, tapi dalam pesta itu ia bertemu dengan Daniel dengan senyuamannya yang lebar seperti biasa dia lengsung bertanya “Bagaiman kabarnya indonesia?”
Dan Tia tersipu. Indonesia? Apa yang harus diceritakan mengenai itu semua. Nyanyian Rindu yang hampa. Rayuan-rayuan hangat tanpa makna. Air mata . . . tapi kemudia mereka berdansa. Entah bagaimana mulanya, mereka pulang bersama. Deniel mengantarkan dia sampai rumahnya. Dia menawarkan secangkir kopi buat Daniel dan Daniel setuju.
Minggu depannya mereka berdua menyusuri jalanan bersalju memandangi camar laut yang meluncur indah diatas kanal-kanal. Sepanjang malam mereka tak pernah berjauhan. Pada salju musim dingin Tia mendapati hangatnya kehidupan.
Ketika Tia mengatakan pada Daniel bahwa dia akan ke Indonesia, Daniel terperanjat.
“Untuk apa ke Indonesia sweetie? Apakah kamu kedinginan. . .”
“Tidak honey, sama sekali tidak. Tiket ini sudah kubeli lama jauh sebelum kita berhubungan. Akau mencoba mengembalikan, tapi tidak bisa. Tiket ini akan hangus jika tidak dipakai.”
“Apakah kamu punya urusan penting atau hubungan penting di Indonesia.”
“Sama sekali tidak Daniel. Sama sekali tidak. Tapi, bagaimana tiket ini. Kalau aku haus memilih, aku lebih suka tiket itu hangus.”
“Kau akan di Indonesia sebulan lebih itu lama sekali sweetie..”
“Aku akan segera pulang, honey, Aku hanya akan membaca puisi dibeberapa tempat, kemudian memberi lecture sedikit mengenai Sastra Indo-Belanda.”
“Bukankah kau sendiri yang bilang akan berhenti menulis puisi dan mengurus sastra lagi. Aku sendiri tidak mengharapkan kau berhenti. Kau bahkan berhenti mendengarkan Jazz. Kau sendiri yang bilang bahwa....”
“Honey, aku memang akan berhenti. Ini perjalanan terakhir. Aku bahkan tidak akan pernah ke Indonesia jika tidak bersamamu.”
“Kau kira tidak berat menunggumu disini.... musim dingin begini. Mengapa kau tidak cerita jauh hari akan ke Indonesia.”
Tia tidak tahu harus bercerita apa. Kedatangannya ke Indonesia tanpa alasan yang jelas. Ia sendiri tak bisa menjelaskannya, bukan hanya pada Daniel bahkan pada hatinya sendiri.
Kurang satu jam lagi Tia sudah akan di Indonesia Tino berjanji akan menjemputnya. Tapi untuk apa? Dia membayangkan hari-hari di Indonesia yang panas dan berkeringat, melewati bising mal-mal dan kemacetan lalu lintas. Dulu semua itu rasanya menakjupkan. Tapi sekarang? Belasan jam diperjalanan dan sepertiga tabunagan tahunan hanya untuk meninggalkan Daniel dan malam-malm indah dan mengesankan. Ia menduga-duga masih akan ada lagi sambutan lagu Jazz selamat datang dengan syair-syair cinta yang mesra tak bertanggung jawab dari Tino.
Ketika ia menginjakkan kakinya di Bandara Soekarno-Hatta, hatinya sepenuhnya berada di Eropa.

2 komentar: